search

Saturday, November 15, 2008

Halal haram saham menurut kajian hukum Islam

tulisan ini disalin dari beningstock.com

“Akan datang kepada manusia suatu zaman yang mana seseorang tidak peduli dari mana ia mendapatkan hartanya: apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HS Riwayat Bukhori)

Tulisan ini disarikan dari Bukunya DR. Husyein Assyahtah dan DR. Atthiyah Fayyadh dari Mesir dengan judul “Sari’iyyati littamal fii Suqi rrouqi Maaliyah” yang telah ditransliterasi kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Bursa Efek: Tuntunan Islam dalam Transaksi Pasar Modal“.

Apa itu saham?
Saham adalah kertas yang merepresentasikan hak pemiliknya dalam kepemilikan sebagian dari persuahaan dan memberikannya hak untuk ikut serta dalam mengatur perusahaan, baik dengan jalan keanggotaannya dalam dewan umum pemegang saham, atau dengan jalan dewan komisaris. Saham tersebut juga memberikan bagian keuntungan berdasarkan rasio saham yang ditanamkan dalam perusahaan tersebut jika ada keuntugannya, serat ikut menanggung kerugian sebagian nisbah penanaman sahamnya jika perusahaan tertimpa kerugian, dan dan pemilik saham juga berhak atas hasil akhir perusahaan ketika perusahaan tersebut dilikuidasi.

Dari segi boleh atau tidaknya bertransaksi dengannya, saham terbagi menjadi tiga:

Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, modalnya bersih dari riba dan suci dari harta kotor, serta tidak memberikan salah satu pemegang sahamnya keistimewaan materi atas pemegang saham lainnya.
Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang diharamkan dan menjijikkan, ataupun modalnya merupakan harta haram darimanapun asalnya, atau perusahaan tersebut memberikan keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan dalam bentuk pengembalian modal lebih dahulu ketika perusahaan dilikuidasi atau keistimewaan atas hak tertentu dalam keuntungan (deviden)
Saham perusahaan yang operasionalnya bercampur antara yang halal dan yang haram.
Hukum syar’i atas masing-masing jenis saham tersebut antara lain:

Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halam dan baik, bersih dari hal-hal kotor dalam operasinya maupun produksinya. Menanam saham dalam perusahaan seperti itu adalah boleh secara syar’i, bahkan sangat dianjurkan (sunnah) karena adanya manfaat yang diraih dan kerusakan yang bisa dihindari dengan saham tersebut.
Perdagangan (jual-beli) saham-saham tersebut, aktivitas mediator, publikasi sham dan pendaftarannya serta ikut memperoleh bagian dari keuntungannya, semua itu diperbolehkan. Dalil yang menunjukkan atas kebolehan semua itu adalah semua dalil yang menunjukkan diperbolehkannya aktivitas tersebut.
Islam tidak melarang adanya bentuk-bentuk administrasi barudan manajemen baru yang diterapkan di dalam aktivitas yang diperbolehkan.
Saham perusahaan yang beraktifitas dalam hal-hal yang diharamkan, seperti perusahaan minuman keras, baik produsen, distributor ataupun pengimpor, perusahaan yang memproduksi daging babi, dll, telah dinash oleh syar’i atas Keharamannya.
Saham perusahan yang bercampur antara halal dan haram, seperti jika aktivitas dan modal perusahaan tersebut dan modal perusahaan tersebut halal, hanya saja perusahaan tersebut memakai pinjaman ribawi untuk mendanai sebagaian aktivitasnya, atau operasi perusahaan tersebut berdasarkan akad-akad yang haram.
Dalam hal ini para fuqoha (ahli hukum Islam) kontemporer berbeda pendapat dalam hal sejauhmana kebolehnnya, antara lain:
Ulama al-wara’ dan attahawuth (hati-hati) melarang ikut andil dalam perusahaan-perusahaan tersebut atau berinteraksi dengannya dalam bentuk apapun sebagai bentuk pemenangan perkara yang haram atas yang halal, karena sesuatu yang halal dan yang haram jika berkumpul maka dimenangkan yang haram.
Sebagian ulama faqih seperti beberapa ulama salafus salih membolehkan dengan kadar keharamannya lebih sedikit dari kehalalannya.
Ibnu Najim Al-Hanafi mengatakan:
“Jika dalam suatu negara/wilayah apabila bercampur antara halal dan haram maka boleh membeli hal tersebut kecuali ada dalil yagn menunjukkan bahwa barang tersebut haram”
Imam An-Nawawi mengatakan:
“Percampuran antara yang haram tak terhitung dengan yang halal yang terbatas dalam suatu negeri tidak menjadikan pembelian dalam negeri tersebut haram, bahkan boleh mengambil daripadanya kecuali jika dalam sesuatu tersebut terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut termasuk haram”.
Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Jika dalam hartanya ada yang halal dan ada yang haram, maka dalam bermuamalah dengan mereka terdapat syubhat, tidak dihukumi haram kecuali jika diketahui dia memberikan sesuatu yang haram untuk diberikan dan tidak dihukumi halal kecuali jika dieketahui bahwa yang diberikan adalah halal…”
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan:
“Bercabang dari hal ini permasalahan bertransaksi dagang dengan seseorang yang dalam hartanya ada harta halal dan haram yang bercampur, namun harta halalnya lebih banyak, maka boleh bertransaksi dagang dengannya dan memakan hartanya”

Saya akan cari itu buku biar yakin... dan bukti, karena ini menurut pendapat orang mengenai saham.

2 comments:

Ag said...

Kang Asep, mohon pencerahan nich. Saya mau bertanya mengenai DIVIDEN saham. Dari definisi mengenai saham yang Kang Asep tulis:

Apa itu saham?

Saham adalah kertas yang merepresentasikan hak pemiliknya dalam kepemilikan sebagian dari persuahaan dan memberikannya hak untuk ikut serta dalam mengatur perusahaan, baik dengan jalan keanggotaannya dalam dewan umum pemegang saham, atau dengan jalan dewan komisaris. Saham tersebut juga memberikan bagian keuntungan berdasarkan rasio saham yang ditanamkan dalam perusahaan tersebut jika ada keuntugannya, serat ikut menanggung kerugian sebagian nisbah penanaman sahamnya jika perusahaan tertimpa kerugian, dan dan pemilik saham juga berhak atas hasil akhir perusahaan ketika perusahaan tersebut dilikuidasi.

Dari saya:

Mohon informasikan aturan/undang-undang/hukum yang mengatakan bahwa pemilik saham adalah pemilik perusahaan atau asset perusahaan. Pengetahuan yang saya miliki, mereka (khususnya pembeli saham) bukanlah pemilik perusahaan/PT atau asset perushaan secara hukum. Mereka hanyalah sebagai pemegang saham (surat utang) atas penyertaan modal mereka saat membeli saham. Dimana mereka mengharapkan keuntungan DIVIDEN dalam penyertaan modal tersebut.

Karena mereka bukanlah pemilik perusahaan, apakah DIVIDEN itu bukan termasuk RIBAWI. Seperti kita meminjamkan uanng kepda pihak lain dengan mengharapkan kelebihan berupa interest rate (bunga).

Juga sepengetahuan saya, mereka tidak berhak mengatur perusahaan. Mereka hanya sebatas menunjuk/menyetujui siapa yang boleh menjalankan perusahaan.

Mereka juga tidak bertangguan jawab atas utang-utang perushaan. Nanum boleh terus mengeruk keuntungan perusahaan. Dan ketika perusahaan bangkrut, mereka masih juga boleh mengklaim kembali seluruhnya atau sebagia modal mereka. Apakah ini tidak termasuk Ijon atau Lintah Darat (dalam bahawa kita).

Mohon penjelasannya yaa Akang, saya benar-benar membutuhkan informasinya.

Salam hangat.

Asep Yudi said...

DIVIDEN adalah pembagian keuntungan dari operasional/laba/rugi perusahaan. Perhitungannya bisa dilihat di koran (neraca perusahaan).

Saya tidak bisa mengatakan halal atau haram saya merujuk fatwa MUI
http://asep-yudi.blogspot.com/2009/07/forex-dalam-hukum-islam.html

Dividen bukanlah bunga bank tapi laba usaha. Bisa dibandingakan dengan bank syariah jika kita meminjam di bank syariah untuk usaha tentu ada pembagian keuntungan (bisa dianalogikan sebagai dividen/pembagian keuntungan) tentu dividen lebih baik asal perusahaannya juga sesuai dengan ketentuan syariah juga (Jakarta Islamic Index) bisa dicari wwwl.idx.co.id
bank syariah bisa dianalogikan sebagai pemegang saham yang menyertakan modal (ingat hanya modal, tanpa bantuan lanjutan untuk menjamin usaha berhasil atau tidak).
Pemegang saham memiliki kepemilikan perusahaan sesuai dengan porsi kepimilikannya . jadi kalau memiliki sedikit tentu tidak bisa menentukan arah/mengatur perusahaan kenapa? kalah suara dalam RUPS. Termasuk menunjuk direksi kalah suara (tidak bisa begitu saja memasukan orang kepercayaan). Hanya Mayoritas pemegang saham yang berkuasa tentunya,masukan belum tentu dipakai.
Utang perusahaan dibayar bukan dari pemodal (kecuali perlu suntikan dana baru dalam bentuk saham baru atau pemilik mayoritas baru) tapi dari laba. jadi sebelum dividen dibagikan akan di RUPS dulu berapa persen yang akan dibayarkan ke bank/utang atau minta penangguhan pembayaran.
Jika bangkrut tentu kepimilikan saham akan hilang, juga asset perusahaan akan dilikuidasi, juga asset pribadi jika merupakan CV,kalau PT tidak. Pemilik saham sudah membeli saham (mengeluarkan uang untuk memodali perusahaan) mengeruk untuk tentu lewat dividen yang porsinya tergantung banyaknya kepemilikan sahamnya. Tentu jika ada sisa dari pembayaran utang akan klaim sisa dari uangnya bukan?